Rabu, 02 Juli 2014

TINJAUAN PUSTAKA



TINJAUAN PUSTAKA
Landscape
Landscape adalah wajah kota / karakter lahan / tapak bagian dari muka bumi dengan segala sifatnya dan kehidupan yang ada didalamnya baik yang bersifat alami maupun buatan (Simonds,1983). Ranchman (1994) mengatakan bahwa landscape adalah wajah dan karaker lahan / tapak dari bagian muka bumi dengan segala sesuatu yang ada didalamnya baik yang bersifat alami dan buatan manusia yang merupakan total dari bagian hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya.
Bentukan penampakan dan kekuatan landscape alam yang dominan, sangat sedikit yang dapat diubah yaitu bentukan topografi seperti pegunungan, lembah, danau, sungai, pantai, penampakan presipitasi, embun, kabut dsb (Simonds, 1983), selanjutnya Simonds menyatakan elemen landscape yang dapat diubah diantaranya bukit, semak belukar, parit dan dimana seorang perencana dapat memodifnya.
Definisi dan Bentuk-Bentuk Pelestarian/Konservasi
Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yang dikenal dengan Burra Charter.
Burra Charter menyebutkan "konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik."
Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.
Suatu program konservasi sebisa mungkin tidak hanya dipertahankan keaslian dan perawatannya, namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan tujuan pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan lain bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat dimasukkan.
Salah satu bentuk kegiatan konservasi yang dapat dilakukan di Setu Babakan adalah :
·      Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan,


·      Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena    kondisinya)     termasuk      tindakan       preservasi,    restorasi, rekonstruksi, konsolidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut. Seperti yang sudah di rencanakan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini untuk mengkonservasi kawasan setu babakan menjadi Pusat Budaya Betawi / Perkampungan Budaya Betawi.

Situ / Danau dan Potensinya sebagai Areal Rekreasi
Situ, danau atau lembah topografi merupakan bentukan alam / buatan manusia yang dapat berfungsi sebagai daerah penampungan / resapan air, baik air dari mata air alami (aliran bwah tanah) ataupun dari curah hujan (Johan, 1996). Situ dapat terbentuk secara buatan yaitu berasal dari dibendungnya        suatu cekungan atau terbentuk secara alami karena kondisi topografi yang memungkinkan terperangkapnya sejumlah air (Ratnawati, 1999). Fungsi / manfaat situ menurut Ratnawati, yaitu sebagai pemasok air ke dalam akifer, sebagai daerah resapan air (recharging zone), peredam banjir, mencegah intrusi air laut, membantu memperbaiki mutu air permukaan (lewat proses kimia-fisik-biologi yang berlangsung didalamnya), irigasi, rekreasi, tendon air (reserfoir), mengatur iklim mikro, perikanan, mendukung keanekaragaman hayati perairan dsb.


Dalam kaitannya dengan pemanfaatan danau sebagai objek wisata menurut Siti Nurisjah (1997), kelestarian, keberadaan dan keindahan badan air perlu dipertahankan fungsinya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi dari badan air adalah sebagai pengendali iklim mikro, kesejahteraan dan kenyamanan manusia, sumber energi, alat transportasi, elemen rekreasi, melembutkan dan meningkatkan nilai estetika landscape. Usaha untuk memanfaatkan dan melestarikan badan air sebagai objek wisata harus lebih dahulu diketahui bentuk, karakter, potensi, kendala, dan bahaya yang dapat ditimbulkan dari badan air. Sifat fisik, kimia, biologis dari air merupakan pemanfaatanya.
Hasil studi mengenai kegiatan rekreasi di ruang terbuka menunjukan bahwa elemen air merupakan daya tarik yang paling besar bagi pengunjung (Turner, 1986). Salah satu alternatif tempat rekereasi dengan elemen air danau/setu dan sekitarnya. Sebagai sebuah sumber daya, badan air memiliki potensi penggunaan rekreasi baik diwilayah perairanya sendiri maupun sepanjang tepiannya, dan badan air memiliki nilai scenic beauty/ keindahan, dimana pemandangan dan air membangkitkan perasaan menyenangkan (Simonds, 1983).
Menurut Joergensen (1980), menyatakan bahwa masalah pemanfaatan dan pengelolaan danau berkaitan dengan ;
1.      Persediaan air
Persediaan air berkaitan dengan kualitas air. Beberapa danau airnya secara tidak langsung digunakan sebagai sumber air minum, sehingga danau dapat dipandang sebagai tempat penyimpanan air tawar.

2.      Pemakaian danau untuk rekreasi dan reservoir
Rekreasi dan kualitas air saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Limbah rekreasi akan menimbulkan polusi yang menyebabkan dampak negatif bagi danau.

3.      Pemancingan air tawar komersil
Memancing yang berlebihan merupakan masalah pada beberapa danau karena dapat mengurangi populasi ikan dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu diperlukan pengelolaan yang tepat untuk mengatasinya.

Definisi Wisata Budaya
Istilah pariwisata budaya memiliki beberapa definisi (Sofield dan Birtles, 1996) dan hal tersebut yang masih membingungkan (Hughes, 1996) dan istilah simtomatik Tribes (1997) serta pariwisata indisiplin. Dalam sebuah buku yang dikarang oleh Valene Smith (1978: 4) berjudul Hosts dan Guests membedakan antara pariwisata etnik dan pariwisata budaya: pariwisata etnik dipasarkan untuk umum/wisatawan berdasarkan budaya yang mengalir/turun temurun dari penduduk pribumi yang bersifat eksotis. Wood (1984: 361) lebih lanjut mendefinisikan pariwisata etnik dengan memfokuskan pada orang-orang yang meninggalkan identitas budaya yang keunikannya dipasarkan kepada wisatawan. Khususnya yang dikemas untuk wisatawan seperti tari-tarian pertunjukan, rumah atau pemukiman asli penduduk lokal, upacara, dan hasil-hasil kerajinan berupa ornament dengan segala pernak-perniknya (Smith, 1978:4).


Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan motivasi wisatawan serta atraksi yang terdapat di daerah tujuan wisata maka kegiatan pariwisata dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu pariwisata yang bersifat massal dan pariwisata minat khusus. Jika pada pariwisata jenis pertama lebih ditekankan aspek kesenangan (leisure) maka pada tipe kedua penekanannya lebih kearah pengalaman dan pengetahuan.
Pada pasal 1 UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya mendefinisikan Benda Cagar Budaya sebagai :
·         Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang- kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;

·         Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.Jadi yang dimaksud dengan pusaka bisa berupa hasil kebudayaan manusia maupun alam beserta isinya.

 Pelestarian Kawasan
Pelestarian secara umum dapat didefinisikan bahwa pelestarian dalam hal ini konservarsi merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk merawat, melindungi, dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai atau makna kultural agar dapat dipelihara secara bijaksana sesuai dengan identitasnya guna untuk dilestarikan. Menurut Eko budihardjo (1994), upaya preservasi mengandung arti mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan asli semula. Karena sifat preservasi yang stastis, upaya pelestarian memerlukan pula pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungannya (conservation areas dan bahkan kota bersejarah (histories towns). Dengan pendekatan konservasi, berbagai kegiatan dapat dilakukan, menilai dari inventarisasi bangunan bersejarah kolonial maupun tradisional, upaya pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas kehidupan baru.

KONDISI UMUM KAWASAN SITU BABAKAN SAAT INI



KONDISI UMUM KAWASAN
Sejarah Situ Babakan
Situ babakan adalah danau alami, pada mulanya situ tersebut dikelilingi oleh Kampung Kalibata dan Kampung Babakan. Kampong Babakan lebih dahulu berkembang permukiman dibandingkan Kampung Kalibata, sedangkan Kampung Kalibata berupa sawah, rawa, dan perkebunan. Oleh karena itu, warga setempat lebih banyak mengakses situ tersebut melalu Kampung Babakan, sehingga masyarakat setempat menyebutnya sebagai Situ Babakan. Namun, tahun 60an bagian utara danau tersebut di tanggul sehingga situ tersebut tidak melewati Kampung Babakan lagi. Saat ini, Kampung Babakan itu sendiri masih ada dan bagian utara situ yang di tanggul hanya berupa empang dan rawa.

Perkembangan Kampung Betawi Asli
Pada abad ke 17 dan 18, Jakarta merupakan kota tempat berimigrasi orang-orang dari berbagai daerah nusantara, misalnya Melayu, Ambon, Bugis, dan Bali (Harun, et. Al, 1991). Kedatangan mereka berkaitan dengan kegiatan perdagangan yang berkembang pesat di Jakarta. Mereka membentuk permukiman menuru latar belakang etnisnya, yang biasanya terdapat didekat jalur-jalur komunikasi dan pusat yang dibangun oleh Belanda.
Dengan adanya pertumbuhan permukiman asli tersebut menurut  latar belakang etnis masing-masing, pada sekitar tahun 1840-an istilah kampung pertama kali dikenal yang mengindikasikan permukiman asli yang dibedakan dari istilah kota untuk permukiman Belanda, yang muncul dari istilah compound. Kampung-kampung inilah yang berkembang sejak abad 17, yang bersama-sama kampung didaerah dalam dan pantai, kemudian menjadi kampung Betawi yang dikenal sekarang.
Pada saat ini baik kota Jakarta maupun kampung-kampung didalamnya telah berkembang cepat. Berdasarkan studi yang telah dilakukan, di Jakarta pada saat ini telah terdapat tiga tipologi kampung (Harun, et.al. 1991) yaitu ;
1.      Kampung Kota ;
Yang terletak dekat pusat kegiatan kota yang biasanya kepadatan sangat tinggi

2.      Kampung Pinggiran ;
Berada didaerah pinggiran kota tetapi masih termasuk kedalam batas wilayah dan kegiatan kota, berkepadatan antara rendah dan sedang, tapi kadang ada yang tinggi.

3.      Kampung Pedesaan ;
Kebanyakan berada di luar batas wilayah dan kegiatan perkotaan, berkepadatan rendah dan kebanyakan bertumpu pada kegiatan pertanian dan perkebunan.

Banyak kampung yang termasuk kampung kota dan kampung pinggiran berkembang setelah Belanda menguasai Jakarta. Demikian pula, hampir semua pemukiman yang berbentuk berdasarkan pengelompokan etnis terdapat pada kampung kota dan kampung pinggiran. Sebaliknya kampung pedesaan yang terdapat didaerah dalam kebanyakan sudah berdiri sejak sebelum Belanda masuk Jakarta. Karenanya, sifat Betawi asli dari kampung pedesaan lebih kuat dari kampung pada tipologi lainnya.
Rencana Induk Pengembangan Kawasan PBB (Perkampungan Budaya Betawi)
Kawasan situ babakan ditetapkan sebagai PBB berdasarkan peraturan daerah DKI Jakarta No 6 tahun 1999 tentang RTRW propinsi DKI Jakarta. Kawasan ini bertujuan untuk melestarikan budaya betawi melalui sebuah perspektif kehidupan budaya betawi.
PBB adalah suatu lingkungan kehidupan sosial atau lingkungan binaan yang bernuansa betawi, yang dihuni oleh komunitas betawi dengan keasrian alam yang menarik dengan Keanekaragaman tradisi serta kebudayaan. Wadah pembinaan dan pengembangan serta pelestarian budaya betawi yang dimaksud terdiri dari 5 unit komplek yaitu :
1.      Pembinaan keagamaan / religious
2.      Pembinaan dan pengembangan nilai budaya (tata busana, tata boga, tata graha)
3.      Pembinaan dan pengembangan kebahasaan kesusatraan serta keperpusatakaan
4.      Pembinaan dan pengembangan kesenian
5.      Pembinaan tradisional, peninggalan sejarah dan permuseuman


Berdasarkan master plan PBB konsep dasar PBB adalah meningkatkan harkat dan martabat masyarakat betawi melalui penataan ruang didalam batas wilayah kehidupan masyarakat berdasarkan nilai tradisi serta sosial budaya yang dikembangkan. Seluruh bangunan di dalam PBB menampilkan citra tradisonal Indonesia khususnya betawi namun juga menggambarkan suaut perkembangan yang mengarah pada konsep berwawasan lingkungan.


Lahan PBB di bagi menjadi beberapa zona pengembangan fisik lingkungannya yang diharapkan dapat menampung aspirasi kehidupan sosial masyarakat setempat, zona pengemabangan fisik tersebut adalah ;
1.      Zona Perumahan
Tersebar merata diatas lahan terbuka (kebun dan halaman) milik penduduk. Kebun dan rumah merupakan bagian dari konsep argo wisata harus menjadi sandaran dalam menunjang kehidupan ekonomi penduduknya melalui pembinaan dan pemberdayaan masyarakatnya.
2.      Zona Kesenian Dan Sejarah
Merupaka suatu areal yang menampung kegiatan dan pengembangan kesenian betawi serta nilai sejarah yang ada pada dahulu sampai saat ini. Konsep arsitektur bangunan mauoun lingkungan di dalam zona ini mencerminkan budaya betawi dan merupakan suatu kesatuan (unity) PBB secara umum
3.      Zona Wisata Argo
Menyajikan perjalanan wisata di perkebunan atau pertamanan PBB yang seharusnya memiliki ciri dan nuansa betawi. Konsep penataan itdak dapat lepas dari zoan perumahan sebagai tempat tinggal pemilik kebon tersebut. Landscape wisata argo dilengkapi dengan elemen taman seperti bangku, lampu taman  dsb. Sehingga pengunjung dapat nyaman menikmati wisata.
4.      Zona Wisata Air
Memanfaatkan situ babakan sebagai tujuan utama (core destination) yang memberikan nilai ekonomis dan ekologis bagi penduduk PBB. Situ babakan tidak hanya dikembangkan sebagai objek wisata air namun diharapkan mampu memicu perkembangan area PBB lainnya sebagai zona wisata sesuai dengan yang telah direncanakan.
5.      Zona Industri
Didalam kawasan PBB disediakan dalam rangka melindungi dan mengembangkan industri yang ada saat ini (home industri) karena sifatnya merupakan industri rumah tangga, maka zona ini akan menyebar di dalam kawasan PBB.
Penghijaun dan pembangunan taman pada areal ini telah dilakukan di sepanjang pinggiran situ babakan bagian barat. Tanaman yang digunakan merupakan tanaman peneduh dan tanaman khas betawi.
Perencanaan kawasan PBB dilakukan oleh dinas tata kota yang ngua berperan sebagai “team leader” dalam penanganan kawasan PBB. Untuk pengembangan kawasan ini sebagai kawasan PBB maka perbaikan perencanaan sarana prasarana , infrastruktur dll perlu melalu program pemda.
Hingga saat ini lahan yang telah terbangun ± 4000 m². Pembangunan yang dilakukan diantaranya adalah ;
1.      Perbaikan jaringan jalan melalui perkerasan, baik dengan aspal maupun conblock dengan tetap memperhatikan peraturan bangunan pada kawasan PBB
2.      Pemabangunan fasilitas wisata dan pembangunan landscape furniture.
3.      Pemugaran rumah penduduk
Tabel Fasilitas Bangunan di PBB
no
Jenis bangunan
Luas m²
1
Panggung teater terbuka
± 355 m²
2
Plaza
-
3
Kantor Pengelola
± 164 m²
4
Prototype Rumah Tradisional Betawi
± 165 m²
5
Wisma Betawi
± 160 m²
6
Gallery
± 165 m²
7
Tempat Parkir
± 100 m²
8
Toilet
-
9
Musholla
-
10
Loket Sepeda Air
-

Table Landscape Furnitur di PBB
No
Jenis Landscape Furniture
Jumlah
1
Bangku Taman
30
2
Lampu Taman
40
3
Tempat Sampah
30
4
Papan Informasi
1



Fasilitas penunjang wisata yang ada di tapak berupa kios-kios, warung makan, wc umum tidak tertata dengan baik / rapi dan bersifat ilegal atau tanpa izin. Dalam hal ini pihak pengelola PBB tidak mempunyai peraturan yang kuat dalam penetapan ruang penunjang wisata sehingga pembangunan fasilitas tersebut tidak terkendali. Pengelola hanya mengeluarkan peraturan untuk tidak membanguan apapun disekitar situ apapun itu tanpa izin. Sebagai kawasan wisata, fasilitas wisata tersebut tidak berkarakter khas betawi.